Welcome


Kamis, 03 November 2011

TUBERKULOSIS PARU


BY : SISKA SARTIKA (10101001020)

RESUME

Tuberkulosis paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang sudah lama dikenal pada manusia. Ditandai pembentukan turbekel dan cenderung meluas secara lokal. Selain itu, juga bersifat pulmoner maupun ekstrapulmoner dan dapat mempengaruhi organ tubuh lainnya. Tuberculosis paru (TB) disebabkan oleh bakteri Mikobakterium Tuberkulosis, Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Penyakit TBC dapat menyerang pada siapa saja tak terkecuali pria, wanita, tua, muda, kaya dan miskin serta dimana saja.

Penularan penyakit TBC adalah melalui udara yang tercemar oleh Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan/dikeluarkan oleh si penderita TBC saat batuk, dimana pada anak-anak umumnya sumber infeksi adalah berasal dari orang dewasa yang menderita TBC. Bakteri ini masuk kedalam paru-paru dan berkumpul hingga berkembang menjadi banyak (terutama pada orang yang memiliki daya tahan tubuh rendah), Bahkan bakteri ini pula dapat mengalami penyebaran melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening sehingga menyebabkan terinfeksinya organ tubuh yang lain seperti otak, ginjal, saluran cerna, tulang, kelenjar getah bening dan lainnya meski yang paling banyak adalah organ paru. Sehingga menyebabkan infeksi pada paru-paru, dimana segeralah terjadi pertumbuhan koloni bakteri yang berbentuk bulat (globular).

Pencegahan Tuberkulosis paru (TB) dapat melalui imunisasi aktif, kontrol diri dengan deteksi dini serta selalu aktif mengontrol lingkungan dengan membatasi penyebaran penyakit, disinfeksi dan cermat mengungkapkan investigasi epidemiologi.

Pengobatan tuberkulosis dapat dibagi kedalam 2 kategori yaitu OAT primer dan OAT sekunder.






BAB II
  PENDAHULUAN EPIDEMIOLOGI TB PARU

1.       Epidemiologi Global

Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai saat ini TB masih tetap menjadi problem kesehatan dunia yang utama. Pada bulan Maret 1993 WHO mendeklarasikan TB sebagai global health emergency. TB dianggap sebagai masalah penting karena lebih kurang 1/3 penduduk dunia terinfeksi oleh mikobakterium TB. Pada tahun 1998 ada 3.617.047 kasus TB yang tercatat diseluruh dunia.
Sebagian besar dari kasus TB ini (95 %) dan kematiannya  (98 %) terjadi dinegara-negara yang sedang berkembang. Di antara mereka 75 % berada pada usia produktif yaitu 20-49 tahun. Karena penduduk yang padat dan tingginya prevalensi maka lebih dari 65 % dari kasus-kasus TB yang baru dan kematian yang muncul di Asia.
Alasan utama yang muncul atau meningkatnya penyakit TB global ini disebabkan :
a.       Kemiskinan pada berbagai penduduk
b.       Meningkatnya penduduk dunia
c.       Perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi
d.       Tidak memadainya pendidikan mengenai penyakit TB
e.       Terlantar dan kurangnya biaya pendidikan (1).

2.       Epidemiologi TB di Indonesia

Indonesia adalah negeri dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah China dan India.




 



 
(2)



(3)

BAB II
PEMBAHASAN EPIDEMIOLOGI TB PARU

            1. TRIAD EPIDEMIOLOGI

1.1     Agent

TB disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis, bakteri gram positif, berbentuk batang halus, mempunyai sifat tahan asam dan aerobic (4).
Karakteristik alami dari agen TBC hampir bersifat resisten terhadap disifektan kimia atau antibiotika dan mampu bertahan hidup pada dahak yang kering untuk jangka waktu yang lama (5).
Pada Host, daya infeksi dan kemampuan tinggal sementara Mycobacterium Tuberculosis sangat tinggi. Pathogenesis hamper rendah dan daya virulensinya tergantung dosis infeksi dan kondisi Host. Sifat resistensinya merupakan problem serius yang sering muncul setelah penggunaan kemoterapi modern, sehingga menyebabkan keharusan mengembangkan obat baru (5).
Umumnya sumber infeksinya berasal dari manusia dan ternak (susu) yang terinfeksi. Untuk transmisinya bisa melalui kontak langsung dan tidak langsung, serta transmisi congenital yang jarang terjadi (5).


 
 




Sumber : http://pramareola14.wordpress.com/2009/12/04/mengenal-tuberkulosis-penyakit-infeksi-pembunuh-nomor-satu-bangsa-indonesia/




2.2       Host

Umur merupakan faktor terpenting dari Host pada TBC. Terdapat 3 puncak kejadian dan kematian ;
a.       Paling rendah pada awal anak (bayi) dengan orang tua penderita
b.       Paling luas pada masa remaja dan dewasa muda sesuai dengan pertumbuhan, perkembangan fisik-mental dan momen kehamilan pada wanita
c.       Puncak sedang pada usia lanjut (6).
Dalam prkembangannya, infeksi pertama semakin tertunda, walau tetap tidak berlaku pada golongan dewasa, terutama pria dikarenakan penumpukan grup sampel usia ini atau tidak terlindung dari risiko infeksi (6).
Pria lebih umum terkena, kecuali pada wanita dewasa muda yang diakibatkan tekanan psikologis dan kehamilan yang menurunkan resistensi. Penduduk pribumi memiliki laju lebih tinggi daripada populasi yang mengenal TBC sejak lama, yang disebabkan rendahnya kondisi sosioekonomi. Aspek keturunan dan distribusi secara familial sulit terinterprestasikan dalam TBC, tetapi mungkin mengacu pada kondisi keluarga secara umum dan sugesti tentang pewarisan sifat resesif dalam keluarga. Kebiasaan sosial dan pribadi turut memainkan peranan dalam infeksi TBC, sejak timbulnya ketidakpedulian dan kelalaian Status gizi, kondisi kesehatan secara umum, tekanan fisik-mental dan tingkah laku sebagai mekanisme pertahanan umum juga berkepentingan besar. Imunitas spesifik dengan pengobatan infeksi primer memberikan beberapa resistensi, namun sulit untuk dievaluasi (6).

3.   3    Environment

Distribusi geografis TBC mencakup seluruh dunia dengan variasi kejadian yang besar dan prevalensi menurut tingkat perkembangannya. Penularannya pun berpola sekuler tanpa dipengaruhi musim dan letak geografis (6).
Keadaan sosial-ekonomi merupakan hal penting pada kasus TBC. Pembelajaran sosiobiologis menyebutkan adanya korelasi positif antara TBC dengan kelas sosial yang mencakup pendapatan, perumahan, pelayanan kesehatan, lapangan pekerjaan dan tekanan ekonomi. Terdapat pula aspek dinamis berupa kemajuan industrialisasi dan urbanisasi komunitas perdesaan. Selain itu, gaji rendah, eksploitasi tenaga fisik, pengangguran dan tidak adanya pengalaman sebelumnya tentang TBC dapat juga menjadi pertimbangan pencetus peningkatan epidemi penyakit ini (6).
Pada lingkungan biologis dapat berwujud kontak langsung dan berulang-ulang dengan hewan ternak yang terinfeksi adalah berbahaya (6).


2.TRANSMISI TB PARU

Lingkungan hidup yang sangat padat dan permukiman di wilayah perkotaan kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TB. Proses terjadinya infeksi oleh Mycobacterium Tuberculosis biasanya secara inhalasi, sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis yang paling sering disbanding organ lainnya. Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei. Khususnya  yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung basil tahan asam (BTA). Pada TB kulit atau jaringan lunak penularan bisa melalui inokulasi langsung. Infeksi yang disebabkan oleh M. bovis dapat disebabkan oleh susu yang kurang disterilkan dengan baik atau terkontaminasi. Sudah dibuktikan bahwa lingkungan sosial ekonomi yang baik (1).
Penyebab tuberculosis adalah Mycobacterium Tuberculosis, sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 um dan tebal 0.3-0.6 um. Yang tergolong dengan kuman Mycobacterium Tuberculosis complex adalah :
1.       M. tuberculosae
2.       Varian Asian
3.       Varian African I
4.       Varian African II
5.       M. bovis
Pembagian tersebut adalah berdasarkan perbedaan secara epidemiologi.
Kelompok kuman Mycobacteria Other Than TB (MOTT, atypical) adalah :
1.       M. kansasi
2.       M. avium
3.       M. intra cellular
4.       M. scrofulaceum
5.       M. malmacerse
6.       M. xenopi

Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberculosis menjadi aktif lagi (1).
Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam sitoplasma markofag. Markofag yang semula memfagositasi malah kemudian disenanginya karena banyak mengandung lipid (1).
Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari bagian lain. Sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberculosis (1).

3. RIWAYAT ALAMIAH TB PARU

Gejala klinis sangat bervariasi dari tidak ada gejala sama sekali sampai gejala yang sangat berat seperti gangguan pernapasan dan gangguan mental (7).
a.       Gejala sistematik
Gejala ini mencakup :
·         Demam
Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-41 ºC. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberculosis yang masuk (1).
·         Badan terasa lemah (7)
·         Malaise
Penyakit tuberculosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur (1).

                
b.       Gejala respiratorik
Gejala ini mencakup :
·         Batuk/Batuk darah
Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakini setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan pada peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberculosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus (1).
Batuk biasnya terjadi lebih dari 3 minggu, kering sampai produktif dengan sputum yang bersifat mukoid atau purulen, batuk berdarah dapat terjadi bila ada pembuluh darah yang robek (7).
·         Sesak napas
Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak napas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru (1, 7)
·         Rasa nyeri pada dada
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya (1).




Sumber : http://prihandhi.blogspot.com/



Sumber : https://qillknows.wordpress.com/2011/01/10/10-fakta-penting-tentang-tuberkulosis/





 
Sumber :  http://health.utah.gov/cdc/tb_home.htm


4. PENCEGAHAN

Berkaitan dengan perjalanan alamiah dan peranan Agent, Host dan Environment dari TBC, maka tahapan pencegahan yang dapat dilakukan antara lain :

a.       Pencegahan Primer

Dengan promisi kesehatan sebagai salah satu pencegahan TBC paling efektif, walaupun hanya mengandung tujuan pengukuran umum dan mempertahankan standar kesehatan sebelumnya yang sudah tinggi.
Proteksi spesifik dengan tujuan pencegahan TBC yang meliputi :
1.       Imunisasi aktif, melalui vaksinasi Basil Calmette Guerin (BCG) secara nasional dan internasional pada daerah dengan kejadian tinggi dan orang tua penderita atau berisiko tinggi dengan nilai proteksi yang tidak absolut dan tergantung Host tambahan dan Environment
2.       Chemoprophylaxis, obat anti TBC yang dinilai terbukti ketika kontak dijalankan dan tetap harus dikombinasikan dengan pasteurisasi produk ternak
3.       Pengontrolan Faktor Prediposisi, yang mengacu pada pencegahan dan pengobatan diabetes, silicosis, malnutrisi, sakit kronis dan mental (5).

b.       Pencegahan Sekunder

Dengan diagnosis dan pengobatan secara dini sebagai dasar pengontrolan kasus TBC yang timbul dengan 3 komponen utama : Agent, Host dan Environment.
Kontrol pasien dengan deteksi dini penting untuk kesuksesan aplikasi modern kemoterapi spesifik, walau terasa berat baik dari finansial, materi maupun tenaga. Metode tidak langsung dapat dilakukan dengan indikator anak yang terinfeksi TBC sebagai pusat, sehingga pengobatan dini dapat diberikan. Selain  itu, pengetahuan tentang resistensi obat dan gejala infeksi juga penting untuk seleksi dari petunjuk yang paling efektif (5).
Langkah kontrol kejadian kontak adalah untuk memutuskan rantai infeksi TBC, dengan imunisasi TBC negatif dan Chemoprophylaxis pada TBC positif. Kontrol lingkungan dengan membatasi penyebaran penyakit, disinfeksi dan cermat mengungkapkan investigasi epidemiologi, sehingga ditemukan bahwa kontaminasi lingkungan memegang peranan terhadap epidemic TBC. Melalui usaha pembatasan ketidakmampuan untuk membatasi kasus baru harus dilanjutkan, dengan istirahat dan menghindari tekanan psikis (5).



c.       Pencegahan Tersier

Rehabilitasi merupakan tingkatan terpenting pengontrolan TBC. Dimulai dengan  diagnosis kasus berupa trauma yang menyebabkan usaha penyesuaian diri secara psikis, rehabilitasi penghibur selama fase akut dan hospitalisasi awal pasien, kemudian rehabilitasi pekerjaan yang tergantung situasi individu. Selanjutnya, pelayanan kesehatan kembali dan penggunaan media pendidikan untuk mengurangi cacat sosial dari TBC, serta penegasan perlunya rehabilitasi (5).
Selain itu, tindakan pencegahan sebaiknya juga dilakukan untuk mengurangi perbedaan pengetahuan tentang TBC, yaitu dengan jalan sebagai brikut :
1.       Perkembangan media.
2.       Metode solusi problem keresistenan obat.
3.       Perkembangan obat Bakterisidal baru.
4.       Kesempurnaan perlindungan dan efektifitas vaksin.
5.       Pembuatan aturan kesehatan primer dan pengobatan TBC yang fleksibel.
6.       Studi lain yang intensif.
7.       Perencanaan yang baik dan investigasi epidemiologi TBC yang terkontrol (5).




4. PENGOBATAN

Pengobatan tuberkulosis dapat dibagi kedalam 2 kategori yaitu OAT primer dan OAT sekunder.

a.       OAT Primer
Prognosis baik jika pasien tidak mengalami gangguan imun. Nutrisi yang baik, pengurangan konsumsi alkohol, dan kepatuhan pada terapi obat merupakan faktor-faktor penting. Penyembuhan penyakit umumnya terjadi setelah pengobatan selama 6 bulan. Pada awalnya sekurang-kurangnya digunakan tiga obat, untuk mencegah perkembangan strain yang resisten. Regimen yang dianjurkan adalah rifampisin, dan isoniazid selama 2 bulan, diikuti rifampisin dan isoniazid selama 4 bulan. Tambahan piridoksin mencegah neuropati perifer akibat isoniazid. Fungsi hati sebaiknya dipantau, karena rifampisin dan pirazinamid dapat menyebabkan disfungsi hati. Jika dicurigai terjadi resistensi obat (rekurensi TB pada pasien yang tidak patuh), maka regimen empat obat (tambahkan etambutol) dapat dimulai. Bila ada hasil kultur, obat alternatif akan menggantikan obat yang tidak sensitif untuk mikrobakterium. Etambutol (pantaulah penglihatan warna untuk neuritis optikus), streptomisin (pantaulah kadar plasma untuk mneghindari gangguan pendengaran) atau siprofloksasin dapat digunakan. Pada TB paru berat, kortikosteroid kadang-kadang memperbaiki hasil (8).
Di beberapa organ (misalnya tulang), TB diobati lebih lama, sering dengan obat-obat tambahan. Pada TB meningeal atau serebral, regimen empat obat selama 12 bulan dengan tambahan steroid dianjurkan, untuk memastikan penetrasi otak yang adekuat dan mencegah kompresi nervus kranialis akibat pembentukan parut meningeal (8).
Bila dengan OAT primer timbul resistensi, maka yang resisten itu digantikan dengan paling sedikit 2-3 macam OAT sekunder yang belum resisten, sehingga penderita menerima 5 atau 6 macam obat sekaligus. Strategi pengobatan yang dianjurkan oleh WHO adalah DOTs (directly observed treatment, short course) untuk penggunaan OAT primer dan DOTS-plus untuk penggunaan OAT sekunder (9).

b.       OAT Sekunder

OAT sekunder adalah asam para-aminosalisilat, ethionamide, thioacetazone, fluorokinolon, aminoglikosida dan capreomycin, cycloserine, penghambat betalaktam, clarithromycin, linezolid, thioacetazone, dan lain-lain.
·         Asam Para-Amino Salisilat (PAS)
Ditemukan tahun 1940, dahulu merupakan OAT garis pertama yang disunakan bersama dengan isoniazid dan streptomycin; kemudian kedudukannya digantikan oleh ethambutol. PAS memperlihatkan efek bakteriostatik terhadap M.tuberculosis dengan menghambat secara kompetitif pembentukan asam folat dari asam para-amino benzoate (10).

·         Thioacetazone

Secara in-viro dan in-vivo diperlihatkan mempunyai khasiat bakteriostatik terhadap M. tuberculosis. Resistensi silang sering terlihat antara thioacetazone dengan isoniazid dan ethioonamide. Karena kerap menimbulkan reaksi hipersensitifitas berat ( sindroma Steven-Johnson), thioacetazone tak dianjurkan untuk digunakan pada penderita dengan HIV (11).

  
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

1.       Kesimpulan

TBC adalah suatu infeksi bakteri menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang utama menyerang organ paru manusia. TBC merupakan salah satu problem utama epidemiologi kesehatan didunia.
Agent, Host dan Environment merupakan faktor penentu yang saling berinteraksi, terutama dalam perjalanan alamiah epidemic TBC baik periode Prepatogenesis maupun Patogenesis.
Faktor yang mempengaruhi terjadinya kasus TBC adalah lingkungan yang padat, lembab, kurangnya ventilasi dan sinar matahari.
Pencegahan terhadap infeksi TBC sebaiknya dilakukan sedini mungkin, yang terdiri dari pencegahan primer, sekunder dan tersier (rehabilitasi).  

2.       Saran

a.       Perbaikan lingkungan (Pembuatan jendela, genting kaca dan  kebersihan rumah/lantai).
b.       Menutup mulut waktu batuk dan tempat khusus untuk dahak dan pembuangan dahak tidak sembarang.
c.       Menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).



 
DAFTAR PUSTAKA

1.          Sudoyo, Aru W. dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta: Fakultas       Kedokteran Indonesia. Hal. 988-994.
2.          Gerdunas TB. 2006-2007. Tentang TB. TB di Indonesia. Profile Nasional. http://www.tbindonesia.or.id/tbnew/epidemiologi-tb-di-indonesia/article/55/000100150017/2, diunduh pada tanggal 2 November 2011
3.          Gerdunas TB. 2006-2007. Tentang TB. TB di Indonesia. Profile Regional Sumatra. Propinsi Sumatra Selatan. http://www.tbindonesia.or.id/tbnew/epidemiologi-tb-di-indonesia/article/55/000100150017/2, diunduh pada tanggal 2 November 2011
4.          Soeharsono. 2005. Zoonosis Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Volume II. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hal. 30.
5.             Chandra, Budiman dr, 1996. Pengantar Prinsip dan Metode Epidemiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
6.          World Health Organitation (WHO), 2004. Epidemiology of Tuberculosis. http://who.org/orgs/dissease/tuberculosis/epidemiology.htm
7.             Hadi H., et all, editor; Naskah Lengkap Work-Shop Pulmonology Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT-4) Ilmu Penyakit Dalam PAPDI Sumbagsel, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, April, 2002. Hal. 95 -119.
8.             Jane W., et all, editor; At Glance Sistem Respirasi. Jilid II. Jakarta: Penerbit Erlangga, Mei, 2007. Hal. 81.
9.          Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia. 2006. Jurnal Tuberkulosis Indonesia. Vol._3 No._2 September 2006, http://www.tbindonesia.or.id/pdf/Jurnal_TB_Vol_3_No_2_PPTI.pdf, diakses tanggal 2 November 2011
10.      Peloquin CA, Berning SE, Huitt GA, et al. Once-daily and twice-daily dosing of paminosalicylic acid granules. Amer J Respir Crit Care Med 1999;159:932-934.
11.      Okwera A, Whalen C, Byekwaso F, et al. Randomised trial of thioacetazone and rifampicin-containing regimens for pulmonary tuberculosis in HIV-infected Ugandans. The Makerere University-Case Western University Research Collaboration. Lancet 1944;344:1323-1328.

2 komentar: