TETANUS
Created by: Nanik Lestari (10101001053)
RESUME
RESUME
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah berkomitmen untuk menghilangkan tetanus neonatorum pada tahun 1995. Tiga tahun setelah itu (1998), infeksi itu menewaskan lebih dari 400.000 bayi per tahun, bahkan meskipun vaksin telah tersedia. WHO memperkirakan bahwa pada 2008, 59.000 bayi meninggal dari NT, pengurangan 92% dari situasi di akhir 1980-an (pada tahun 1988, WHO mencatat bahwa 787.000 bayi meninggal karena tetanus neonatorum (NT) atau sekitar 6,7 NT kematian per 1000 kelahiran hidup). Pada tahun yang sama, 46 negara masih belum dihilangkan MNT di semua distrik. Meskipun kemajuan terus dilakukan, pada Desember 2010, 39 negara belum mencapai status eliminasi MNT. (1)
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani, yang merupakan obligat anaerob, gram positif batang yang motil dan mudah bentuk endospora, ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat. Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani. Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh karena terpotong , tertusuk ataupun luka bakar serta pada infeksi tali pusat (Tetanus Neonatorum ). (1,2)
A. PENDAHULUAN
A. PENDAHULUAN
a) Data Kasus
Tetanus ibu dan bayi baru lahir didunia merupakan penyebab penting dari kematian ibu dan bayi, sekitar 180.000 kehidupan di seluruh dunia setiap tahun, hampir secara eksklusif di negara-negara berkembang. Meskipun sudah dicegah dengan maternal immunization, dengan vaksin, dan aseptis obstetric, tetanus ibu dan bayi tetap sebagai masalah kesehatan masyarakat di 48 negara, terutama di Asia dan Africa (Anariyusmi, 2010).
Salah satu upaya dari negara-negara dunia untuk menurunkan angka kematian anak dan meningkatkan kesehatan ibu adalah dengan mentargetkan eliminasi tetanus neonatorum. Sebanyak 104 dari 161 negara berkembang telah mencapai keberhasilan itu. Tetapi, karena tetanus neonatorum masih merupakan persoalan signifikan di 57 negara berkembang lain, UNICEF, WHO dan UNFPA pada Desember 1999 setuju mengulur eliminasi hingga 2005. Target eliminasi tetanus neonatorum adalah satu kasus per seribu kelahiran di masing-masing wilayah dari setiap negara. WHO mengestimasikan 59.000 neonatus seluruh dunia mati akibat tetanus neonatorum. (WHO, 2010).
Data kasus tetanus neonatorum dan penyebarannya di beberapa negara (WHO)
Kasus tetanus Neonatorum di Indonesia masih tinggi, data tahun 2007 sebesar 12,5 per 1000 kelahiran hidup; sedangkan target Eliminasi Tetanus Neonatorum (ETN) yang ingin dicapai adalah 1 per 1000 kelahiran hidup. (Survey Penduduk Antar-Sensus (Supas, 2008). Beberapa upaya telah dilakukan antara lain dengan imunisasi TT diberikan sejak bayi, DPT 3x murid Sekolah Dasar, meningkatkan cakupan imunisasi TT pada Calon Penganten (Caten), Ibu Hamil (Bumil) dan Wanita Usia Subur (WUS), surveilans Tetanus Neonatorum dan persalinan bersih.
Tetanus neonatorum menyebabkan 50% kematian perinatal danmenyumbangkan 20% kematian bayi. Angka kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di perkotaan dan 11-23/100 kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus pada anak di rumah sakit 7-40 kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-9tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok > 10 tahun, dan sisanya pada bayi <12 bulan. Angka kematian keseluruhan antara 6,7-30%. (BAPPENAS, 2010). (3)
Jumlah penderita tetanus neonatorum di Sumatera Selatan dari tahun 2000-2009
Sumber: Depkes RI. Database Kesehatan Per Provinsi.2010 (Online): (http://www.bankdata.depkes.go.id/nasional/public/report/createtablepit)
Jumlah kasus tetanus neonatorum di kota Palembang tahun 2007 dan 2008
Sumber: Depkes RI. Database Kesehatan Per Kabupaten. 2010 (Online): (http://bankdata.depkes.go.id/propinsi/public/report/createtablepti)
a) Urgensi
Tetanus adalah salah satu penyakit yang paling beresiko menyebabkan kematian bayi baru lahir. Tetanus yang menyerang bayi usia di bawah satu bulan, dikenal dengan istilah tetanus neonatorum yang disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani. Penyakit menyebabkan resiko kematian sangat tinggi. Bisa dikatakan, 100% bayi yang lahir terkena tetanus akan mengalami kematian.(Kusmariadi, 2009).
Pada tahun 2007, Filipina dan Indonesia mencatatkan jumlah kasus tetanus neonatorum tertinggi di antara 8 negara ASEAN, dengan 175 kasus terjadi di Indonesia dan121 kasus terjadi di Filipina. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk, angka tertinggi kasus tetanus neonatorum terjadi di Kamboja. Indonesia menduduki urutan ke-5. Jumlah kasus tetanus neonatorum di Indonesia pada tahun 2007sebanyak 175 kasus dengan angka kematian (case fatality rate (CFR) 56% (DepkesRI, 2008).
B. ISI a) Triad Epidemiologi
Tetanus tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah resiko tinggi dengan cakupan imunisasi DPT (Diphtheria, Pertussis and Tetanus) yang rendah. Reservoir utama kuman ini adalah tanah yang mengandung kotoran ternak sehingga resiko penyakit ini di daerah peternakan sangat tinggi. Spora kuman Clostridium tetani yang tahan kering dapat bertebaran di mana-mana.
Port of entry tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun dapat diduga melalui :
1. Luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar
2. Luka operasi yang tidak dirawat dan dibersihkan dengan baik
3. OMP, caries gigi
4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril
5. Penjahitan luka robek yang tidak steril
6. Luka bekas suntikan narkoba. (4)
i. Agent
Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak memecah protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak menghasilkan gas H2S. Menghasilkan gelatinase, dan indol positif.
Spora dari Clostridium tetani resisten terhadap panas dan bahan kimia, seperti etanol, phenol, dan formalin. Sporanya juga dapat bertahan pada autoclave pada suhu 249.8°F (121°C) selama 10–15 menit, juga resisten terhadap phenol dan agen kimia yang lainnya. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun, jika ia menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda daging atau bakteri lain, ia akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin. (1,5,6)
ii. Host
Host penyakit tetanus adalah manusia dan hewan, khususnya hewan vertebrata, seperti kucing, anjing, dan kambing
iii. Enviroment
Tetanus merupakan penyakit infeksi yang prevalensi dan angka kematiannya masih tinggi. Tetanus terjadi di seluruh dunia, terutama di daerah tropis, daerah dengan cakupan imunisasi DPT (Diphtheria, Pertussis and Tetanus) yang rendah dan di daerah peternakan.
Tetanus merupakan infeksi berbahaya yang bisa mengakibatkan kematian yang disebabkan oleh infeksi bakteri Clostridium tetani. Bakteri ini ditemukan di tanah dan feses manusia dan binatang. Karena itulah, daerah peternakan merupakan daerah yang rentan untuk terjadinya kasus tetanus.
Pada tahun 2001, diperkirakan 282.000 orang di seluruh dunia meninggal karena tetanus, yang terbesar terjadi di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan, yang merupakan daerah tropis.
b) Transmisi
Tetanus tidak ditularkan dari orang ke orang. Luka, baik besar ataupun kecil, menjadi jalan masuknya bakteri menyebab tetanus (Clostridium tetani), sekaligus menjadi tempat berkembang dan menghasilkan racun. Tetanus dapat mengikuti operasi elektif, luka bakar, luka tusuk yang dalam, luka menghancurkan, otitis media, infeksi gigi, gigitan hewan, aborsi, dan kehamilan. (7)
Pengguna heroin, terutama mereka yang menggunakan jarum suntik secara subkutan dengan kina-potong heroin, berisiko tinggi terkena tetanus. Kina digunakan untuk mencairkan heroin dan benar-benar dapat mendukung pertumbuhan bakteri Clostridium tetani.
Selama 1998-2000, cedera akut atau luka seperti tusukan, laserasi, dan lecet menyumbang 73% dari kasus dilaporkan tetanus pada rakyat AS yang bekerja di bidang yang mempunyai risiko untuk tertusuk, luka, dan lecet. (7)
c) Riwayat Alamiah
i. Masa inkubasi dan klinis
Masa inkubasi berkisar dari 2 hari sampai sebulan, dengan sebagian besar (rata-rata) kasus terjadi dalam 14 hari. Pada neonatus, masa inkubasi biasanya 5-14 hari. Secara umum, periode inkubasi pendek berhubungan dengan terkontaminasi luka, penyakit lebih parah, dan prognosis yang buruk. (7)
Masa inkubasi berkisar antara 3 sampai 21 hari, biasanya sekitar 8 hari. Semakin pendek masa inkubasi, semakin tinggi peluang kematian, biasanya kurang dari 72 jam. Dalam gejala tetanus neonatorum, biasanya muncul 4-14 hari setelah kelahiran, rata-rata sekitar 7 hari.
Karakteristik/gejalan klinis tetanus:
• Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7 hari.
• Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekwensinya
• Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
• Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari leher.
Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus, lockjaw ) karena spasme otot masetter.
• Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( opistotonus , nuchal rigidity )
• Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat .
• Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai dengan
• Eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik.
• Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis ( pada anak ). (2)
Tetanus tidak bisa segera terdeteksi karena masa inkubasi penyakit ini berlangsung hingga 21 hari setelah masuknya kuman tetanus ke dalam tubuh. Pada masa inkubasi inilah baru timbul gejala awalnya. Gejala penyakit tetanus bisa dibagi dalam tiga tahap, yaitu:
- Tahap pertama
Rasa nyeri punggung dan perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh merupakan gejala awal penyakit ini. Satu hari kemudian baru terjadi kekakuan otot. Beberapa penderita juga mengalami kesulitan menelan. Gangguan terus dialami penderita selama infeksi tetanus masih berlangsung.
- Tahap kedua
Gejala awal berlanjut dengan kejang yang disertai nyeri otot pengunyah (Trismus). Gejala tahap kedua ini disertai sedikit rasa kaku di rahang, yang meningkat sampai gigi mengatup dengan ketat, dan mulut tidak bisa dibuka sama sekali. Kekakuan ini bisa menjalar ke otot-otot wajah, sehingga wajah penderita akan terlihat menyeringai ( Risus Sardonisus), karena tarikan dari otot-otot di sudut mulut.Selain itu, otot-otot perut pun menjadi kaku tanpa disertai rasa nyeri. Kekakuan tersebut akan semakin meningkat hingga kepala penderita akan tertarik ke belakang (Ophistotonus). Keadaan ini dapat terjadi 48 jam setelah mengalami luka.
Pada tahap ini, gejala lain yang sering timbul yaitu penderita menjadi lambat dan sulit bergerak, termasuk bernafas dan menelan makanan. Penderita mengalami tekanan di daerah dada, suara berubah karena berbicara melalui mulut atau gigi yang terkatu berat, dan gerakan dari langit-langit mulut menjadi terbatas.
- Tahap ketiga
Daya rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat, maka terjadilah kejang refleks. Biasanya hal ini terjasi beberapa jam setelah adanya kekakuan otot. Kejang otot ini bisa terjadi spontan tanpa rangsangan dari luar, bisa juga karena adanya rangsangan dari luar, misalnya cahaya, sentuhan, bunyi-bunyian dan sebagainya. Pada awalnya, kejang ini hanya berlangsung singkat, tapi semakin lama akan berlangsung lebih lama dan dengan frekuensi yang lebih sering.
Selain dapat menyebabkan radang otot jantung (mycarditis), tetanus dapat menyebabkan sulit buang air kecil dan sembelit. Pelukaan lidah, bahkan patah tulang belakang dapat terjadi akibat adanya kejang otot hebat. Pernafasan juga dapat terhenti karena kejang otot, sehingga beresiko menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan karena sumbatan saluran nafas, akibat kolapsnya saluran nafas, sehingga refleks batuk tidak memadai, dan penderita tidak dapat menelan. (2,4)
Ada tiga bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni :
1. Localited tetanus ( Tetanus Lokal )
2. Cephalic Tetanus
3. Generalized tetanus (Tctanus umum)
1. Tetanus Lokal (Lokalited Tetanus)
Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara bertahap.
Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisajuga lokal tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin. Hanya sekitar 1% dari kasus yang fatal.
2. Cephalic Tetanus
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar 1 –2 hari, yang berasal dari otitis media (infeksi telinga) kronik , seperti dilaporkan di India, luka pada daerah muka dan kepala. Terisolasi atau dikombinasikan disfungsi dari salah satu saraf kranial dapat terjadi, tetapi keterlibatan dari saraf kranial ketujuh adalah yang paling umum.
3. Tetanus Umum (Generalized Tetanus)
Bentuk ini yang paling banyak dikenal (80%). Trismus atau kejang mulut merupakan gejala utama yang sering dijumpai (50 %), yang disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus ( kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa terjadi disuria dan retensi urine, kompressi fraktur dan pendarahan di dalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi bisa mencapai 2-40C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan dijumpai takhikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis.
Udara dingin, kebisingan, lampu (cahaya) serta gerakan pasien dapat memicu kejang paroksismal. Kejang dapat terjadi sering dan berlangsung selama beberapa menit. Kejang dapat terus berlanjut selama 3-4 minggu. Kadang-kadang, pasien dengan tetanus umum menampilkan manifestasi otonom yang menyulitkan perawatan pasien dan dapat mengancam nyawa pasien. Overactivity sistem saraf simpatik lebih sering ditemui pada pasien usia lanjut atau pecandu narkotika dengan tetanus. Overaktivitas otonom dapat mengakibatkan fluktuasi yang luas pada tekanan darah yang bervariasi dari hipertensi sampai hipotensi, serta takikardia, berkeringat, hipertermia, dan aritmia jantung.
Neonatal tetanus (tetanus neonatorum) adalah bentuk tetanus umum, biasanya disebabkan infeksi Clostridium tetani, yang masuk melalui tali pusat sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses pertolongan persalinan yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah terkontaminasi spora Clostridium tetani, maupun penggunaan obat-obatan untuk tali pusat yang telah terkontaminasi.
Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak steril,merupakan faktor yang utama dalam terjadinya neonatal tetanus. Menurut penelitian E.Hamid.dkk, Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Dr.Pringadi Medan, pada tahun 1981. ada 42 kasus dan tahun 1982 ada 40 kasus tetanus. Biasanya ditolong melalui tenaga persalianan tradisional ( TBA =Traditional Birth Attedence ) 56 kasus ( 68,29 % ), tenaga bidan 20 kasus ( 24,39 % ) ,dan selebihnya melalui dokter 6 kasus ( 7, 32 %).
Neonatal tetanus merupakan kejadian umum di beberapa negara berkembang (diperkirakan lebih dari 257.000 kematian tahunan di seluruh dunia pada 2000-2003). Namun sangat jarang di Amerika Serikat. Neonatus muncul seminggu setelah kelahiran dengan demam, muntah dan 'kejang'. Diferensial diagnosis termasuk sepsis dan meningitis. Penyebabnya biasanya kebersihan selama prosese persalinan yang kurang. Penyakit ini dapat dicegah dengan vaksinasi ibu, yang diberikan selama kehamilan. (1,2,7,8)
ii. Masa laten dan periode infeksi
Tetanus tidak menular dari orang ke orang. Tetanus dicegah dengan vaksin penyakit yang menular, DTP (difteri, tetanus, and pertusis), tapi tidak menular. Luka, baik besar maupun kecil, adalah jalan bakteri Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh. Tetanus dapat disebabkan oleh luka bakar, luka tusuk yang dalam, otitis media, infeksi gigi, gigitan hewan, aborsi, dan persalinan yang tidak steril.
Tetanus tidak mempunyai periode infeksius karena tetanus tidak menular dari orang ke orang. Tetanus merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin, tapi tidak menular. (7)
d) Pencegahan
Seorang penderita yang terkena tetanus tidak imun terhadap serangan ulangan artinya dia mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapat tetanus bila terjadi luka sama seperti orang lainnya yang tidak pernah di imunisasi. Tidak terbentuknya kekebalan pada penderita setelah ia sembuh dikarenakan toksin yang masuk ke dalam tubuh tidak sanggup untuk merangsang pembentukkan antitoksin ( kaena tetanospamin sangat poten dan toksisitasnya bisa sangat cepat, walaupun dalam konsentrasi yang minimal, yang mana hal ini tidak dalam konsentrasi yang adekuat untuk merangsang pembentukan kekebalan). (2)
Vaksinasi adalah cara pencegahan terbaik terhadap tetanus. Komite Penasehat untuk Praktik Imunisasi (ACIP) merekomendasikan bahwa semua anak menerima serangkaian rutin dari 5 dosis difteri dan vaksin tetanus pada usia 2, 4, 6, 15-18 bulan, dan 4-6 tahun. Dosis booster difteri dan tetanus toxoid harus diberikan dimulai pada usia 11-12 tahun (minimal 5 tahun sejak dosis terakhir) dan diulangi setiap 10 tahun sesudahnya. Saat ini, DTaP dan DT harus digunakan pada orang kurang dari tujuh tahun, sedangkan Td diberikan kepada mereka yang berusia tujuh tahun atau lebih. Jadwal catch-up imunisasi Td bagi mereka dimulai pada usia tujuh tahun atau lebih terdiri dari tiga dosis. Dosis kedua biasanya diberikan 1-2 bulan setelah dosis pertama, dan dosis ketiga diberikan 6 bulan setelah dosis kedua. Aselular formulasi vaksin pertusis bagi remaja dan orang dewasa yang berlisensi dan dikombinasikan dengan difteri dan tetanus-toxoid. Jadwal yang disarankan untuk Tdap belum ditentukan, tetapi vaksin ini harus diterima dalam kondisi yang tepat. (1,9)
Untuk pencegahan tetanus neonatorum, langkah-langkah pencegahan, selain imunisasi ibu, adalah program imunisasi untuk gadis remaja dan wanita usia subur serta pelatihan yang tepat bidan dalam rekomendasi untuk imunisasi dan teknik aseptik dan pengendalian infeksi.
Maternal and Neonatal Tetanus Elimination (MNTE) merupakan program eliminasi tetanus pada neonatal dan wanita usia subur termasuk ibu hamil. Strategi yang dilakukan untuk mengeliminasi tetanus neonatorum dan maternal adalah 1) pertolongan persalinan yang aman dan bersih; 2) cakupan imunisasi rutin TT yang tinggi dan merata; dan 3) penyelenggaraan surveilans. Beberapa permasalahan imunisasi Tetanus Toksoid (TT) pada wanita usia subur yaitu pelaksanaan skrining yang belum optimal, pencatatan yang dimulai dari kohort WUS (baik kohort ibu maupun WUS tidak hamil) belum seragam, dan cakupan imunisasi TT2 bumil jauh lebih rendah dari cakupan K4. Cakupan imunisasi TT2 selama tahun 2003-2007 tidak mengalami perkembangan, bahkan cenderung menurun. Namun sejak dua tahun terakhir terjadi peningkatan cakupan imunisasi TT2+, dari 26% pada tahun 2007 menjadi 42,9% pada tahun 2008, kemudian meningkat lagi menjadi 62,52% pada tahun 2009 (Kemenkes RI. 2009). (3)
Maternal and Neonatal Tetanus Elimination (MNTE) merupakan program eliminasi tetanus pada neonatal dan wanita usia subur termasuk ibu hamil. Strategi yang dilakukan untuk mengeliminasi tetanus neonatorum dan maternal adalah 1) pertolongan persalinan yang aman dan bersih; 2) cakupan imunisasi rutin TT yang tinggi dan merata; dan 3) penyelenggaraan surveilans. Beberapa permasalahan imunisasi Tetanus Toksoid (TT) pada wanita usia subur yaitu pelaksanaan skrining yang belum optimal, pencatatan yang dimulai dari kohort WUS (baik kohort ibu maupun WUS tidak hamil) belum seragam, dan cakupan imunisasi TT2 bumil jauh lebih rendah dari cakupan K4. Cakupan imunisasi TT2 selama tahun 2003-2007 tidak mengalami perkembangan, bahkan cenderung menurun. Namun sejak dua tahun terakhir terjadi peningkatan cakupan imunisasi TT2+, dari 26% pada tahun 2007 menjadi 42,9% pada tahun 2008, kemudian meningkat lagi menjadi 62,52% pada tahun 2009 (Kemenkes RI. 2009). (3)
Data dari WHO menunjukkan bahwa, dari tahun ke tahun cakupan imunisasi DTP3 mengalami kenaikan. Semakin tingginya cakupan imunisasi, baik imunisasi DTP3 maupun TT2, menunjukkan penurunan pada terjadinya kasus tetanus, tetanus neonatorum.
Cakupan imunisasi DTP3 dari tahun 1980 sampai tahun 2009 (WHO)
Jumlah total kasus tetanus dan Imunisasi DTP3, 1980-2009 (WHO)
Laporan kasus tetanus neonatal dan imunisasi TT2+, 1980-2009 (WHO)
Grafik di atas menunjukkan bahwa semakin tinggi cakupan imunisasi, baik imunisasi DTP3 maupun TT2, maka kasus tetanus akan semakin turun.
Jadwal pemberian imunisasi:
- Bayi dan Anak Normal
Imunisasi harus dimulai pada awal masa bayi dan memerlukan empat suntikan DTaP diberikan pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, dan 15-18 bulan. Dosis pertama diberikan pada usia 4-6 tahun. Sepuluh tahun setelah dosis pertama (usia 14-16 tahun), suntikan Td, yang berisi dosis yang sama tetanus toksoid sebagai DTP dan dosis difteri toxoid yang dikurangi, harus diberikan dan diulang setiap 10 tahun sepanjang hidup individu dalam peristiwa yang tidak ada reaksi signifikan untuk DTP atau Td.
2. Bayi dan Anak Normal Usia Tujuh Bulan yang tidak Mendapat Imunisasi di Awal
DTP harus diberikan pada kunjungan pertama dan 2 dan 4 bulan setelah injeksi pertama. Dosis keempat harus diberikan 6-12 bulan setelah terlebih dulu injeksi pertama. Dosis pertama diberikan antara 4 dan 6 tahun. Sepuluh tahun setelah dosis pertama (14-16 tahun), suntikan Td harus diberikan dan diulang setiap 10 tahun di seluruh. Prasekolah dosis tidak diperlukan jika dosis keempat dari DTP merupakan diberikan setelah ulang tahun keempat.
3. Anak Usia Tujuh Tahun atau Lebih yang Belum diimunisasi Imunisasi memerlukan setidaknya tiga suntikan Td. Suntikan harus diberikan pada kunjungan pertama , 4-8 minggu setelah bulan pertama Td, dan 6-12 setelah Td kedua. Td suntikan harus berulang setiap 10 tahun sepanjang hidup dalam hal bahwa tidak ada reaksi yang signifikan untuk Td.
4. Wanita hamil yang belum Diimunisasi Neonatal tetanus dapat dicegah dengan imunisasi aktif dari ibu hamil. Wanita hamil yang belum diimunisasi harus menerima dua dosis Td sebelum persalinan, sebaiknya selama dua trimester terakhir, diberikan 2 bulan terpisah. Sebelum ada bukti bahwa tetanus dan difteri toxoid yang teratogenik. Setelah melahirkan, sang ibu harus diberi dosis ketiga Td 6 bulan setelah dosis kedua untuk melengkapi imunisasi aktif. Td suntikan harus diulang setiap 10 tahun sepanjang hidup dalam hal bahwa tidak ada reaksi signifikan terhadap Td. Jika neonatus yang ditanggung oleh seorang ibu yang belum diimunisasi tanpa perawatan kebidanan, bayi harus menerima 250 unit TIG manusia. TIG adalah solusi dari gamma globulin disiapkan dari darah vena manusia, hyperimmunized dengan tetanus toksoid.
5. Anak di bawah Tujuh Bulan dengan Kontraindikasi untuk Vaksinasi Pertusis
DT (untuk penggunaan pediatrik) lebih baik digunakan daripada DTaP. Anak di bawah 1 tahun menerima imunisasi DT sebanyak 4 kali. Tiga dosis pertama diberikan dengan interval 4-8 minggu dan dosis keempat 6-12 bulan kemudian. Jika dosis vaksin pertusis menjadi kontraindikasi setelah mulai DTaP di tahun pertama kehidupan anak, DT harus diganti dengan DTaP di jadwal yang tersisa.
6. Bayi dengan Penyakit Neurologis
Bayi yang memiliki atau diduga memiliki penyakit neurologis, pemberian imunisasi DTaP atau DT ditunda sampai observasi lebih lanjut dan status neurologis anak telah jelas. Tapi, imunisasi DTaP atau DT dilakukan selambat-lambatnya anak berusia satu tahun.
Bayi dan anak-anak yang mengalami kejang dalam waktu 3 hari sejak diterimanya DTaP atau ensefalopati dalam 7 hari tidak boleh menerima vaksin pertusis, bahkan
meskipun penyebab dan akibat mungkin tidak bisa dimunculkan.
8. Anak-anak dengan Gangguan Neurologis tidak Diimunisasi dengan Lengkap meskipun penyebab dan akibat mungkin tidak bisa dimunculkan.
Jika kejang atau gangguan lainnya terjadi sebelum ulang tahun pertama dan penyelesaian terlebih dulu tiga dosis utama serangkaian DTaP, dosis lebih lanjut DTaP atau DT dianjurkan sampai status bayi
telah jelas.
9. Bayi dan Anak-anak dengan Kondisi Neurologis Stabil telah jelas.
Bayi dan anak-anak dengan kondisi neurologis yang stabil, termasuk kejang terkendali dengan baik, dapat divaksinasi. Terjadinya kejang tunggal (terkait dengan DTaP) pada bayi dan anak kecil, sementara yang memerlukan evaluasi, tidak perlu imunisasi DTaP, terutama jika kejang dapat dijelaskan secara memuaskan. Antikonvulsan profilaksis harus dipertimbangkan ketika memberikan DTaP ke
anak-anak tersebut.
anak-anak tersebut.
10. Anak-anak dengan Gangguan neurologis yang Terselesaikan
Imunisasi DTaP dianjurkan untuk bayi dengan masalah neurologis tertentu yang telah jelas mereda atau telah diperbaiki, seperti neona-hypocalcemic tetani atau hidrosefalus (berikut
penempatan shunt dan tanpa kejang).
penempatan shunt dan tanpa kejang).
e) Pengobatan
Tujuan terapi adalah untuk mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pernapasan sampai pulih. Dan tujuan tersebut dapat diperinci sebagai berikut :
- Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa:
· membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik),
· membuang benda asing dalam luka serta kompres dengan H202, dalam hal ini penata laksanaan, terhadap luka tersebut dilakukan 1 -2 jam setelah anti tetanus serum (ATS) dan pemberian Antibiotika. Sekitar luka disuntik ATS.
- Diet cukup kalori dan protein
Bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan menelan. Hila ada trismus, makanan dapat diberikan personde atau parenteral. (2)
- Antibiotik diberikan selama 10 hari, 2 minggu bila ada komplikasi
· Penisillin prokain 50.000 IU/kg BB/kali i.m, tiap 12 jam, atau
· Metronidazol loading dose 15 mg/kg BB/jam, selanjutnya 7,5 mg/kg BB tiap 6 jam
Catatan : Bila ada sepsis/pneumonia dapat ditambahkan antibiotika yang sesuai.
- Imunisasi aktif-pasif
· Anti tetanus serum (ATS) 5.000-10.000 IU, diberikan intramuskular. Untuk neonatus bisa diberikan iv; apabila tersedia dapat diberikan Human tetanus immunoglobulin (HTIG) 3000-6000 IU i.m.
· Dilakukan imunisasi DT/TT/DTP pada sisi yang lain, pada saat bersamaan.
- Anti konvulsi
Pada dasarnya kejang diatasi dengan diazepam, dosis disesuaikan dengan respon klinik:
Bila datang dengan kejang diberi diazepam :
Bila datang dengan kejang diberi diazepam :
- neonatus bolus 5 mg iv
- anak bolus 10 mg iv
Dosis rumatan maximal :
- anak 240 mg/hari
- neonatus 120 mg/hari
- Bila dengan dosis 240 mg/hari masih kejang (tetanus sangat berat), harus dilanjutkan dengan bantuan ventilasi mekanik, dosis diazepam dapat ditingkatkan sampai 480mg/hari, dengan atau tanpa kurarisasi.
- Diazepam sebaiknya diberikan dengan syringe pump, jangan dicampur dalam botol cairan infus. Bila tidak ada syringe pump, diberikan bolus tiap 2 jam (12x/hari)
- Dapat dipertimbangkan penggunaan anti konvulsan lain, seperti magnesium sulfat, bila ada gangguan saraf otonom. Perawatan luka atau port d’entree yang dicurigai, dilakukan sekaligus dengan pembuangan jaringan yang diduga mengandung kuman dan spora (debridemant), sebaiknya dilakukan setelah diberi antitoksin dan anti-konvulsi.
- Terapi suportif
· Bebaskan jalan nafas
· Hindarkan aspirasi dengan menghisap lendir perlahan-lahan dan memindah-mindahkan posisi pasien
· Pemberian oksigen, pernafasan buatan dan trachcostomi bila perlu.
· Pemberian cairan dan nutrisi adekuat, bila perlu dapat dipasang sonde nasogastrik, asal tidak memperkuat kejang
· Pemantauan/monitoring kejang dan tanda penyulit
- Tetanus sedang dan berat
Tetanus sedang
· Perhatian khusus pada keadaan jalan nafas (akibat kejang dan aspirasi)·
· Pemberian cairan parenteral, bila perlu nutrisi secara parenteral.
Tetanus berat/sangat berat
· Perawatan dilakukan di ICU, diperlukan intubasi atau tracheostomi
· Balans cairan dimonitor secara ketat
- Apabila spasme sangat hebat (tetanus berat), perlu ventilasi mekanik dengan pankuronium bromida 0,02 mg/kg bb intravena, diikuti 0,05 mg/kg bb/kali,diberikan tiap 2-3 jam
- Apabila terjadi aktifitas simpatis yang berlebihan, berikan b-blocker seperti propanolol/a dan b- blocker labetalol. (1,4)
C. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan :
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat. Tetanus biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan tetanospasmin yang merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani. Ciri utama dari tetanus adalah kekakuan otot (spasme), tanpa disertai gangguan kesadaran.
Seorang penderita yang terkena tetanus tidak imun terhadap serangan berikutnya, artinya dia mempunyai kesempatan yang sama untuk terkena tetanus bila terjadi luka sama seperti orang lainnya yang tidak pernah di imunisasi. Pencegahan terhadap tetanus dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi aktif, berupa DPT atau DT, yang diberikan sejak anak berusia 2 bulan.
Saran
Saran
1. Menerapkan pola hidup bersih dan sehat.
2. Masyarakat sebaiknya selalu mengikuti program imunisasi yang telah diselenggarakan pemerintah karena itu semua demi kepentingan masyarakat itu sendiri.
3. Pemerintah dan petugas kesehatan sebaiknya melakukan sosialisasi atau penyuluhan tentang pentingnya imunisasi kepada masyarakat, sehingga masyarakat dapat tahu betapa pentingnya imunisasi bagi kesehatan anak-anak mereka.
D. GAMBAR PENDUKUNG
D. GAMBAR PENDUKUNG
Spora tetanus bacilli dapat tinggal di tanah bertahun-tahun. Spora dapat bertahan pada suhu 1210C.
Clostridium tetani dapat hidup pada manusia, ternak, dan hewan lain. Clostridium tetani juga memproduksi neurotoxin yang dapat meneyebabkan terjadinya tetanus.
Tetanus pada hewan : Anjing dan Kuda
DAFTAR PUSTAKA
2. Kiking Ritarwan. Tetanus. Jurnal (Online). 2004 : Diambil dari : http://library.usu.ac.id/download/fk/penysaraf-kiking2.pdf
3. http://www.scribd.com/doc/56778191/BAB-1-PIPIN
4. I Dewa Ayu Vanessa. Tetanus. Skripsi (Online). Diambil dari : http://www.scribd.com/doc/7432195/Laporan-Kasus-TETANUS
5. I Wayan Arditayasa. Clostridium tetani. Jurnal (Online). 2008 : Diambil dari : http://mikrobia.files.wordpress.com/2008/05/i-wayan-arditayasa-078114135.pdf
6. John C. Hariding. Clinical Signs are an Interaction of Host, Agent and the Environment. Jurnal (Online): Diambil dari : http://www.banffpork.ca/proc/2005pdf/BO09-HardingJ.pdf
7. Departemen Kesehatan Masyarakat, Biro Pengendalian Penyakit Menular. Tetanus. Jurnal (Online). 2006 : Diambil dari : http://www.mass.gov/Eeohhs2/docs/dph/disease_reporting/guide/tetanus.pdf
8. Seema Quasim. Management of Tetanus. Jurnal (Online). Diambil dari : http://www.frca.co.uk/documents/tetanus.pdf
9. Slaven, Ellen M., dkk. Infectious Diseases: Emergency Department Diagnosis and Management. 2007. Mc Graw Hill. USA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar