By : Haryani (10101001035)
Difteri adalah penyakit akut yang mengancam nyawa yang disebabkan Corynebacterium diphtheria, terutama menyerang tonsil, faring,laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Corynebacterium diphtheriaea adalah organisme yang minimal melakukan invasive, secara umum jarang memasuki aliran darah, tetapi berkembang local pada membrane mukosa atau pada jaringan yang rusak dan menghasilkan exotoxin yang paten, yang tersebar keseluruh tubuh melalui aliran darah dan system limpatik.
Cara penularan adalah melalui kontak dengan penderita atau carrier; jarang sekali penularan melalui peralatan yang tercemar oleh discharge dari lesi penderita difteri. Penyakit ini ditandai dengan adanya membrane semu di tonsil dan sekitarnya.
Tindakan pemberantasan yang efektif adalah dengan melakukan imunisasi aktif secara luas (massal) dengan Diphtheria Toxoid (DT). Imunisasi dilakukan pada waktu bayi dengan vaksin yang mengandung diphtheria toxoid, tetanus toxoid, antigen “acellular pertussis: (DTaP, yang digunakan di Amerika Serikat) atau vaksin yang mengandung whole cell pertussis (DTP).
BAB I
PENDAHULUAN EPIDEMIOLOGI DIFTERI
Difteria masih merupakan penyakit endemic dibanyak negara di dunia. Pada awal tahun 1980-an terjadi peningkatan insidensi kasus difteria pada negara bekas Uni Soviet karena kekacauan program imunisasi, dan pada tahun 1990-an masih terjadi epidemic yang besar di Rusia dan Ukraina. Pada tahun 2000-an epidemic difteria masih terjadi dan menjalar ke negara-negara tetangga.1
Sebelum era vaksinasi, difteria merupakan penyakit yang sering menyebabkan kematian. Namun sejak mulai diadakannya program imunisasi DPT(di Indonesia pada tahun 1974), maka kasus dan kematian akibat difteria berkurang sangat banyak. Angaka mortalitas berkisar 5-10%, sedangkan angka kematian di Indonesia menurut laporan Parwati S. Basuki yang didapatkan dari rumah sakit di kota Jakarta(RSCM), Bandung(RSHS), Makasar(RSWS), Senmarang(RSK), dan Palembang(RSMH) rata-rata sebesar 15%.1
Difteria adalah penyakit yang jarang terjadi, biasanya menyerang remaja dan orang dewasa. Di Amerika Serikat selama tahun 1980-1996 terdapat 71% kasus yang menyerang usia kurang dari 14 tahun. Pada tahun 1994 terdapat lebih dari 39.000 kasus difteria dengan kematian 1100 kasus (CFR= 2,82%), sebagian besar menyerang usia lebih dari 15 tahun. Di Ekuador, Amerika Selatan, pada tahun 1993-1994 terjadi ledakan kasus sebedsar 200 kasus, yang 50%-nya adalah anak berusia 15 tahun atau lebih.1 Dari tahun 1980 sampai 2010, 55 kasus difteri dilaporkan CDC Nasional dilaporkan Penyakit Surveillance System. Sebagian besar kasus (77%) menyerang usia 15 tahun dan lebih ,empat dari lima kasus fatal terjadi di kalangan anak-anak yang tidak divaksinasi, kasus fatal yang kelima adalah seorang laki-laki, dalam 75 tahun kembali ke Amerika Serikat dari negara dengan penyakit endemic.9 Difteri tetap endemik di banyak bagian dunia berkembang, termasuk beberapa negara Karibia dan Amerika Latin, Eropa Timur, Asia Tenggara, dan Afrika. 9Dari wabah ini mayoritas kasus telah terjadi di kalangan remaja dan orang dewasa, bukan anak-anak. Karena, banyak dari remaja dan orang dewasa belum menerima vaksinasi rutin anak atau dosis booster toksoid difteri. 9
Di Indonesia, dari data lima rumah sakit di Jakarta, Bandung, Makassar, Semarang, dan Palembang, Parwati S.Basuki melaporkan angka yang berbeda. Selama tahun 1991-1996, dari 473 pasien difteria, terdapat 45% usia balita, 27% usia kurang dari 1 tahun, 24% usia 5-9 tahun, dan 4% usia diatas 10 tahun. Berdasarkan suatu KLB difteria di kota Semarang pada tahun 2003, dilaporakan bahwa dari 33 pasien sebanyak 46% berusia 15-44 tahun serta 30% berusia 5-14 tahun.1 Khusus provinsi Sumatera Selatan, selama tahun 2003-2009 penemuan kasus difteri cenderung terjadi penurunan, kasus terbanyak pada tahun 2007 (12 kasus) dan terendah pada tahun 2003 (2 kasus), meskipun demikian Sumatera Selatan merupakan provinsi terbesar kedua untuk kasus difteri pada tahun 2008.10
Meskipun difteri sekarang dilaporkan hanya jarang di Amerika Serikat, di era prevaccine, penyakit ini adalah salah satu penyebab paling umum dari penyakit dan kematian pada anak-anak.9
BAB II
PEMBAHASAN EPIDEMIOLOGI DIFTERI
1. Definisi
Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring,laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada difteria faucial atau pada difteri faringotonsiler diikuti dengan kelenjar limfe yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus yang berat dan sedang ditandai dengan pembengkakan dan oedema di leher dengan pembentukan membran pada trachea secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas.6
Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan satu rongga hidung tersumbat dan terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi ) merupakan kasus terbanyak. Toksin dapat menyebabkan myocarditis dengan heart block dan kegagalan jantung kongestif yang progresif,timbul satu minggu setelah gejala klinis difteri.5 Bentuk lesi pada difteri kulit bermacam-macam dan tidak dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan bagian dari impetigo.(Kadun,2006)
2. Penyebab
Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheriae. Berbentuk batang gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi oleh kuman sifatnya tidak invasive, tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin. Exotoxin yang diproduksi oleh bakteri merupakan suatu protein yang tidak tahan terhadap panas dan cahaya. Bakteri dapat memproduksi toksin bila terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toksigen.Toxin difteri ini, karena mempunyai efek patoligik meyebabkan orang jadi sakit. Ada tiga type variants dari Corynebacterium diphtheriae ini yaitu : type mitis, type intermedius dan type gravis.Corynebacterium diphtheriae dapat dikalsifikasikan dengan cara bacteriophage lysis menjadi 19 tipe. Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6 termasuk tipe intermedius, tipe 7 termasuk tipe gravis yang tidak ganas, sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk tipe gravis yang virulen.Corynebacterium diphtheriae ini dalam bentuk satu atau dua varian yang tidak ganas dapat ditemukan pada tenggorokan manusia, pada selaput mukosa.1,2,5
Organisme ini terlokalisasi di tenggorokan yang meradang bila bakteri ini tumbuh dan mengeluarkan eksotoksin yang ampuh. Sel jaringan mati, bersama dengan leukosit, eritosit, dan bakteri membentuk eksudat berwarna kelabu suram yang disebut pseudomembran pada faring. Di dalam pseudomembran, bakteri berkembang serta menghasilkan racun. Jika pseudomembran ini meluas sampai ke trakea, maka saluran nafas akan tersumbat dan si penderita akan kesulitan bernafas. Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering meyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan kematian. Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun dengan drastis.4
3. Triad Epidemiologi Difteria
3.1. Host
3.1. Host
Manusia adalah inang atau host alamiah satu-satunya bagi Corynebacterium dhiptheriae. Terjadinya penyakit dan kematian yang tertinggi ialah pada anak –anak berusia 2 sampai 5 tahun. Pada orang dewasa, difteri terjadi dengan frekuensi rendah. 2
3.2. Agent
Corynebacterium diphtheria
3.3. Environment
3.2. Agent
Corynebacterium diphtheria
sumber :http://febbyhapsari.wordpress.com/2011/03/20/difteri-sebagai-contoh-food-and-water-borne-disease/
Penyakit ini dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan diri sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.
4. Cara Penularan
Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita maupun sebagai carier . Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita pada masa inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya melalui pernafasan atau droplet infection. Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan. Penyakit difteri yang diserang terutama saluran pernafasan bagian atas. 3
Ciri khas dari penyakit ini ialah pembekakan di daerah tenggorokan, yang berupa reaksi radang lokal, dimana pembuluh-pembuluh darah melebar mengeluarkan sel darah putih sedang sel-sel epitel disitu rusak, lalu terbentuklah disitu membaran putih keabu-abuan(psedomembrane). Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran ini bersarang kuman difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan exotoxin yang memberikan gejala-gejala yang lebih berat dan Kelenjer getah bening yang berada disekitarnya akan mengalami hiperplasia dan mengandung toksin. Eksotoksin dapat mengenai jantung dapat menyebabkan miyocarditisct toksik atau mengenai jaringan perifer sehingga timbul paralisis terutama pada otot-otot pernafasan. Toksini ini juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal, malahan dapat timbul nefritis interstisial. Penderita yang paling berat didapatkan pada difterifauncial dan faringea karena terjadi penyumbatan membran pada laring dan trakea sehingga saluran nafas ada obstruksi dan terjadi gagal napas, gagal jantung yang bisa mengakibatkan kematian, ini akibat komplikasi yang seriing pada bronkopneumoni.3
Sumber : http://obatpropolis.com/penyakit-difteri
5. Masa Inkubasi dan Klinis
Masa inkubasi difteri adalah 2-5 hari (berkisar, 1-10 hari). Penyakit ini dapat melibatkan hampir semua membrane mukosa. Gambaran klinik tergantung pada lokasi anatomi yang dikenai. Beberapa tipe difteri berdasarkan lokasi anatomi adalah :
1. Difteria Hidung
Gejalanya paling ringan dan jarang terjadi ( hanya 2% ). Mula-mula hanya tampak pilek, tetapi kemudian sekret yang keluar tercampur darah sedikit yang berasal dari pseudomembran. Penyebaran pseudomembran dapat pula mencapai laring dan faring. Penderita diobati seperti penderita lainnya seperti anti toksin dan terapi antibiotic. Bila tidak diobati akan berlangsung mingguan dan merupakan sumber utama penularan.6
2. Difteria Faring dan Tonsil
Paling sering dijumpai (kurang lebih 75%). Gejala mungkin ringan. Hanya berupa radang pada selaput lender dan tidak membentuk pseudomembran sedangkan diagnosis dapat dibuat atas dasar hasil biakan yang positif. Dapat sembuh sendiri dan memberikan imunitas pada penderita. Pada penyakit yang lebih berat, mulainya seperti radang akut tenggorok dengan suhu yang tidak terlalu tinggi, dapat ditemukan pada pseudomembran yang mula-mula hanya berupa bercak putih keabu-abuan yang cepat meluas ke nasofaring atau ke laring. Napas berbau dan timbul pembengkakan kelenjar regional sehingga leher tampak seperti leher sapi (bull neck). Brennernan dan Mc Quarne (1956) menyatakan bahwa setiap bercak keputihan diluar tonsil dapat dianggap sebagai difteria, sedangkan Herdarshee menegaskan lebih lanjut bahwa setiap membrane yang menutupi dinding posterior faring atau menutupi seluruh permukaan tonsil baik satu maupun kedua sisi dapat dinggap sebagai difteria. 6
Dapat terjadi salah menelan dan suara serak serta stidor insprasi walaupun belum terjadi sumbatan faring. Hal ini disebabakan oleh paresis palatum mole. Pada pemeriksaan darah dapat terjadi penurunan kadar hemoglobin dan leukositisis, polimofonukleus, penurunan jumlah eritrosit dan kadar albumin, sedangakan pada urin mungkin dapat ditemukan albuminaria ringan.6
3. Difteria Laring dan Trakea
Dengan gejala tidak bisa bersuara, sesak, nafas berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40 derajat celsius, sangat lemah, kulit tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas. 5
Lebih sering sebagai penjalaran difteria faring dan tonsil ( 3 kali lebih banyak ) daripada primer mengenai laring. Gejala gangguan napas berupa suara serak dan stidor inspirasi jelas dan berat dapat timbul sesak napas hebat, sinosis dan tampak retraksi suprastemal serta epigastrium. Pembesaran kelenjar regional akan menyebabkan bull neck ( leher sapi ). Pada pemeriksaan laring tampak kemerahan, sembab, banyak secret dan permukaan ditutupi oleh pseudomembran. Bila anak terlihat sesak dan payah sekali maka harus segera ditolong dengan tindakan trakeostomi sebagai pertolongan pertama.6
4. Difteria Cutaneous ( kulit )
Gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membran diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi cenderung tidak terasa apa apa.5 Di Amerika Serikat, difteri kutaneus sering dikaitkan dengan orang-orang tunawisma. Merupakan keadaan yang jarang sekali terjadi. Tan Eng Tie (1965 ) mendapatkan 30% infeksi kulit yang diperiksanya mengandung kuman difteria. Dapat pula timbul di daerah konjungtiva, vagina dan umbilicus.6
Gejalanya paling ringan dan jarang terjadi ( hanya 2% ). Mula-mula hanya tampak pilek, tetapi kemudian sekret yang keluar tercampur darah sedikit yang berasal dari pseudomembran. Penyebaran pseudomembran dapat pula mencapai laring dan faring. Penderita diobati seperti penderita lainnya seperti anti toksin dan terapi antibiotic. Bila tidak diobati akan berlangsung mingguan dan merupakan sumber utama penularan.6
2. Difteria Faring dan Tonsil
Paling sering dijumpai (kurang lebih 75%). Gejala mungkin ringan. Hanya berupa radang pada selaput lender dan tidak membentuk pseudomembran sedangkan diagnosis dapat dibuat atas dasar hasil biakan yang positif. Dapat sembuh sendiri dan memberikan imunitas pada penderita. Pada penyakit yang lebih berat, mulainya seperti radang akut tenggorok dengan suhu yang tidak terlalu tinggi, dapat ditemukan pada pseudomembran yang mula-mula hanya berupa bercak putih keabu-abuan yang cepat meluas ke nasofaring atau ke laring. Napas berbau dan timbul pembengkakan kelenjar regional sehingga leher tampak seperti leher sapi (bull neck). Brennernan dan Mc Quarne (1956) menyatakan bahwa setiap bercak keputihan diluar tonsil dapat dianggap sebagai difteria, sedangkan Herdarshee menegaskan lebih lanjut bahwa setiap membrane yang menutupi dinding posterior faring atau menutupi seluruh permukaan tonsil baik satu maupun kedua sisi dapat dinggap sebagai difteria. 6
Dapat terjadi salah menelan dan suara serak serta stidor insprasi walaupun belum terjadi sumbatan faring. Hal ini disebabakan oleh paresis palatum mole. Pada pemeriksaan darah dapat terjadi penurunan kadar hemoglobin dan leukositisis, polimofonukleus, penurunan jumlah eritrosit dan kadar albumin, sedangakan pada urin mungkin dapat ditemukan albuminaria ringan.6
3. Difteria Laring dan Trakea
Dengan gejala tidak bisa bersuara, sesak, nafas berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40 derajat celsius, sangat lemah, kulit tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas. 5
Lebih sering sebagai penjalaran difteria faring dan tonsil ( 3 kali lebih banyak ) daripada primer mengenai laring. Gejala gangguan napas berupa suara serak dan stidor inspirasi jelas dan berat dapat timbul sesak napas hebat, sinosis dan tampak retraksi suprastemal serta epigastrium. Pembesaran kelenjar regional akan menyebabkan bull neck ( leher sapi ). Pada pemeriksaan laring tampak kemerahan, sembab, banyak secret dan permukaan ditutupi oleh pseudomembran. Bila anak terlihat sesak dan payah sekali maka harus segera ditolong dengan tindakan trakeostomi sebagai pertolongan pertama.6
4. Difteria Cutaneous ( kulit )
Gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membran diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi cenderung tidak terasa apa apa.5 Di Amerika Serikat, difteri kutaneus sering dikaitkan dengan orang-orang tunawisma. Merupakan keadaan yang jarang sekali terjadi. Tan Eng Tie (1965 ) mendapatkan 30% infeksi kulit yang diperiksanya mengandung kuman difteria. Dapat pula timbul di daerah konjungtiva, vagina dan umbilicus.6
6. Klasifikasi
Biasanya pembagian dibuat menurut tempat atau lokalisasi jaringan yang terkena infeksi.Pembagian berdasarkan berat ringannya penyakit juga diajukan oleh Beach, dkk (1950) sebagai berikut :
1. Infeksi Ringan: bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan.6
2. Infeksi sedang : bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dindingbelakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.6
3.Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejalakomplikasi sepertimiokarditis (radang otot jantung),paralisis (kelemahananggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).6
7. Pencegahan
1. Isolasi Penderita
Penderita difteria harus di isolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat lagi Corynebacterium Diphtheriae 6
2. Imunisasi
Pencegahan dilakukan dengan memberikan imunisasi DPT (difteria, pertusis, dan tetanus) pada bayi, dan vaksin DT (difteria, tetanus) pada anak-anak usia sekolah dasar.1,6
3.Pencarian dan kemudian mengobati karier difteria
Dilakukan dengan uji Schick, yaitu bila hasil uji negatif (mungkin penderita karier pernah mendapat imunisasi), maka harus diiakukan hapusan tenggorok. Jika ternyata ditemukan C. diphtheriae, penderita harus diobati dan bila perlu dilakukan tonsilektomi.6
8. Pengobatan 8
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.
1. Pengobatan Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan humidifier.
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.
1. Pengobatan Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan humidifier.
2.Pengobatan Khusus
-Antitoksin : Anti Diptheriar Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6 menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%.Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu.
-Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Pengobatan untuk difteria digunakan eritromisin , Penisilin, kristal aqueous pensilin G, atau Penisilin prokain.
-Kortikosteroid
Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai gejala.
3.Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
4.Pengobatan Kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi harian. Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria.
5.Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin40 mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi / adenoidektomi.
BAB III
Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
- Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheria, oleh karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengan kuman penyebabnya.
- Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita pada masa inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya melalui pernafasan atau droplet infection dan difteri kulit yang mencemari tanah sekitarnya.
- Menurut lokasi gejala difteria dibagi menjadi 3 yaitu, difteri hidung, difteri faring, difteri laring dan difteri kutaneus.
- Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4 minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularancarier bisa sampai 6 bulan.
Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :
a. Panas lebih dari 38 °C
b. Adapsedomembrane bisa dipharynx,larynx atau tonsil
c. Sakit waktu menelan
d. Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakakn kelenjar leher
a. Panas lebih dari 38 °C
b. Adapsedomembrane bisa dipharynx,larynx atau tonsil
c. Sakit waktu menelan
d. Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakakn kelenjar leher
- Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu: Infeksi ringan, Infeksi sedang dan Infeksi berat
- Pencegahan difteri dilakukan dengan cara, yaitu :a. Isolasi penderita
b. Imunisasi, dengan memberikan imunisasi DPT pada bayi dan vaksin DT pada anak usia sekolah dasar
c. Pencegahan dan kemudian mengobati karier difteria
- Pengobatan difteria dilakukan untuk menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.a. Pengobatan umum
b. Pengobatan khusus, yaitu dengan memberikan antitoksin (Anti Diptheriar Serum ), antibiotic dan kortikosteroid
c. Pengobatan penyulit
d. Pengobatan kontak
e. Pengobatan karier
2. Saran
Difteri adalah suatu penyakit infeksi yang bisa mengakibatkan miokarditis untuk itu mencegah penyebaran infeksi merupakan tindakan yang harus dilakukan, untuk itu petugas kesehatan (perawat) harus tahu hal itu dan keluarga harus sensitif terhadap keadaan anak jika mengidap difteri.
Daftar Pustaka
1Widoyono.2005.Penyakit Tropis Epidemiologi Penularan dan Pemberantasannya.Erlanggga: Jakarta.
2Iskandar,Nurbaiti,dkk.editor;Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2000.Hal 177-178.
4Hastomo.2008.Makalah Tentang Penyakit Menular Difteri.Politeknik Kesehatan Yogyakarta, diakses dari http://www.scribd.com/doc/22270094/difteri
6Arifin,Zaenal,dkk.2010.Makalah Difteri.Stikes Dharma Karawang, diakses dari http://www.scribd.com/doc/27499427/Disususun-Oleh-Kelompok-II
7CDC.DiphtheriaEpidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases.Edisi 12.2011, diakses dari http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/dip.html
8 Buescher, E Stephen. 2007.Di pht heri a in Nelson Textbook of Pediatrics 18th
Chapter 186. USA: Saunders
Anonim. 2010.Dift eria pada Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Hal 312-21.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI
9CDC.Diphtheria.Edisi 5.2011, diakses dari http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/surv-manual/chpt01-dip.html
10ProfilKesehatan Provinsi Sumatera Selatan.2010, diakses dari http://www.depkes.go.id/downloads/profil_kesehatan_prov_kab/profil_kes_sumsel_2010.pdf
Artikel yg mnarik
BalasHapusterimakaish artikelnya sangat bermanfaat sekali untuk mengetahui penyebab difteri
BalasHapus